PERTEMUAN IV
Nama : Nadia Damayanti
NPM :
26217653
Kelas :
2EB17
Mata Kuliah :
Aspek Hukum dalam Ekonomi #
Dosen : Desti
Dirnaeni
Materi 11
11.1 Pengertian Konsumen
Pengertian Konsumen merupakan semua pihak yang
menggunakan barang atau jasa yang ada di masyarakat, baik untuk kepentingan
pribadi, orang lain, dan mahluk hidup lainnya dan tidak untuk dijual kembali. Menurut
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 tentang Perlindungan Konsumen,
pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang
tersedia di masyarakat, baik bagi kebutuhan diri sendiri, keluarga, orang lain,
atau mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
11.2 Azas dan Tujuan
11.2.1
Azas
a. Asas Manfaat
Asas manfaat adalah segala upaya dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b. Asas Keadilan
Asas keadilan adalah memberikan kesempatan kepada konsumen
dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil.
c. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun
spiritual.
d. Asas Keamanan dan Keselamatan
Konsumen
Asas keamanan dan keselamatan konsumen adalah untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselematan pada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan.
e. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum adalah baik pelaku maupun konsumen
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.
11.2.2 Tujuan
Menurut
Pasal 3 tentang Perlindungan konsumen, bertujuan:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan
dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi
serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha
f. Meningkatkan kualitas barang
dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
11.3 Hak
Dan Kewajiaban Konsumen
11.3.1 Hak Konsumen
Pada Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Pasal 4, berikut ini adalah hak-hak konsumen:
a.
Konsumen
memiliki hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam penggunaan barang
maupun jasa.
b.
Konsumen
berhak untuk memilih barang/ jasa serta mendapatkan barang/ jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c.
Konsumen
berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang kondisi
dan jaminan barang/ jasa yang dibeli.
d.
Konsumen
berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya terkait barang/ jasa yang
dipakai.
e.
Konsumen
memiliki hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f.
Konsumen
memiliki hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g.
Konsumen
berhak untuk mendapatkan perlakukan dan pelayanan yang benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
h.
Konsumen
berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/ atau penggantian, jika barang/
jasa yang diterima tidak sesuai dengan semestinya.
i.
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
11.3.2 Kewajiban Konsumen
Berdasarkan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Pasal 5, berikut ini adalah kewajiban konsumen:
a.
Konsumen
wajib membaca dan mengikuti petunjuk informasi maupun prosedur penggunaan atau
pemanfaatan barang/ jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b.
Konsumen
harus memiliki itikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/ jasa.
c.
Konsumen
wajib membayar pembelian barang/ jasa sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati.
d.
Konsumen
wajib mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
11.4 Hak
Dan Kewajiban Pelaku Usaha
11.4.1 Hak Pelaku Usaha
a.
hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
b.
Hak
untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik.
c.
Hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukun sengketa
konsumen.
d.
Hak
untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
e.
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
11.4.2
Kewajiban Pelaku Usaha
a.
Bertikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b.Melakukan informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaika, dan pemeliharaan.
c.
Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, pelaku
usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan, pelaku
usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
d.
Menjamin
mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutu barang atau jasa yang berlaku.
e.
Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu
serta memberi jaminan dan garansi.
f.
Memberi
kompensasi , ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian, dan manfaat barang atau jasa yang diperdagangkan.
g.Memberi kompensasi ganti rugi atau
penggantian apabila berang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
11.5
Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
1.
Larangan
dalam memproduksi / memperdagangkan. Pelaku usaha dilarang memproduksi atau
memperdagangkan barang atau jasa, misalnya :
§ tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
§ tidak sesuai dengan berat isi bersih
atau neto
§ tidak sesuai dengan ukuran ,
takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
§ tidak sesuai denga kondisi, jaminan,
keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau keterangan barang
atau jasa tersebut
§ tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label
§ tidak mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal
§ tidak memasang label atau membuat
penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto
2.
Larangan
dalam menawarkan / memproduksi . Pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah .
§ Barang tersebut telah memenuhi atau
memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu.
§ Barang tersebut dalam keadaan
baik/baru
§ Barang atau jasa tersebut telah
mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu.
§ Dibuat oleh perusahaan yang
mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi.
§ Barang atau jasa tersebut tersedia.
§ Tidak mengandung cacat tersembunyi.
§ Kelengkapan dari barang tertentu.
§ Berasal dari daerah tertentu.
§ Secara langsun g atau tidak
merendahkan barang atau jasa lain.
§ Menggunakan kata-kata yang
berlebihan seperti aman, tidak berbahaya , atau efek sampingan tanpa keterangan
yang lengkap.
§ Menawarkan sesuatu yang mengandung
janji yang belum pasti.
3.
Larangan
dalam penjualan secara obral / lelang. Pelaku usaha dalam penjualan yang
dilakukan melalui cara obral atau lelang , dilarang mengelabui / menyesatkan
konsumen, antara lain :
§ menyatakan barang atau jasa tersebut
seolah-olah telah memenuhi standar tertentu.
§ Tidak mengandung cacat tersembunyi.\
§ Tidak berniat untuk menjual barang
yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain.
§ Tidak menyedian barang dalam jumlah
tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
4.
Larangan
dalam periklanan. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan , misalnya
:
§ mengelabui konsumen mengenai
kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga mengenai atau tarif jasa, serta
ketepatan waktu penerimaan barang jasa.
§ Mengelabui jaminan / garansi
terhadap barang atau jasa.
§ Memuat informasi yang keliru, salah
atau tidak tepat mengenai barang atau jas
§ Tidak memuat informasi mengenai
risiko pemakaian barang atau jasa
§ Mengeksploitasi kejadian atau
seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
§ Melanggar etika atau ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
11.6
KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN
a.
menyatakan
pengalihan tanggungn jawab pelaku usaha .
b.
menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen.
c.
pelaku
usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau
jasa yang di beli konsumen.
d.
pemberian
klausa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli konsumen secara angsuran.
e.
mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli
oleh konsumen.
f.
memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca
secara terlihat atau tidak dapat dibaca seacra jelas atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah
ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi
ketentuan sebagaimana di atas telah dinaytakan batal demi hukum. Oleh karena
itu , pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya
yang bertentangan dengan undang-undang.
11.7 Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang
dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan
kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa
dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata
lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen. Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19. Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
a.
barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk
diedarkan
b.
cacat
barabg timbul pada kemudian hari
c.
cacat
timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang
d.
kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen
e.
lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu
yang diperjanjikan.
11.8 SANKSI
Sanksi yang diberikan oleh undang – undang nomor 8 tahun
1999, yang tertulis dalam pasal 60 sampai dengan pasal 63 dapat berupa sanksi
administrative, dan sanksi pidana pokok, serta tambahan berupa perampas barang
tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah
penghentiaan kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen,
kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabuatn izin usaha.
Materi 12
12.1 Pengertian Anti Monopoli
“Antitrust”
untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah
“dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti
istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu
“kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah
“monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling
dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk
menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar
tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya
kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang
lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang
permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999
tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli. Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli. Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan Usaha.
12.2 Asas Dan Tujuan Anti Monopoli
12.2.1 Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan
kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
12.2.2 Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha
adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara
pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung
mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU
persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan
konsumen. Kegiatan
yang dilarang dalan antimonopoly. Kegiatan yang dilarang berposisi dominan
menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha
tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di
antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik,
telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta
sepenuhnya.
12.3 Kegiatan
Yang Dilarang
Kegiatan-kegiatan
tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi
kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
(3) Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
(3) Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
12.4 Perjanjian Yang Dilarang
Perjanjian yang dilarang dalam
Antimonopoli dan Persaingan Usaha. Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU
No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya,
dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan
satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih
pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal
ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah
dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai
tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa
negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima
adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut. Sebagai perbandingan dalam pasal 1
Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk
tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy.Jadi cakupannya memang
lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan
tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang
dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli.
Materi 13
13.1 Hal Hal Yang Dikecualikan Dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu
yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
13.2 Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha (Kppu)
KPPU
menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1.
Perjanjian
yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang
dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
sepertI.
2.
perjanjian
penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli,
predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan
perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat.
3.
Kegiatan
yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui
pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
4.
Posisi
dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya
untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis
pelaku usaha lain.
Dalam
pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar
membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain
mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
a. Konsumen tidak lagi menjadi korban
posisi produsen sebagai price taker
b. Keragaman produk dan harga dapat
memudahkan konsumen menentukan pilihan
c. Efisiensi alokasi sumber daya alam
d. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan
harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
e. Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi
karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
f. Menjadikan harga barang dan jasa ideal,
secara kualitas maupun biaya produksi
g. Membuka pasar sehingga kesempatan
bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
h. Menciptakan inovasi dalam
perusahaan.
13.3 SANKSI
Sanksi dalam Antimonopoli
dan Persaingan UsahaPasal
36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian,
penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU
juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif
diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli.
Meski KPPU hanya diberikan
kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur
mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok.Sementara
pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49. Pasal 48(terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan
Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28
diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. (2) Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai
dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan. (3) Pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya
Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima
miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga)
bulan. Pasal 49.
MATERI 14
14.1. Pengertian Sengketa
Sengketa atau dalam bahasa inggris disebut dispute adalah
pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas objek
kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
14.2. Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
14.2.1 Menurut Pruitt dan Rubin (2004:4)
a.
Contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan
suatu solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak yang
lainnya.
b.
Yielding (mengalah), yaitu menurunkan
aspirasi sendiri dan bersedia menerima kekurangan dari yang sebetulnya
diinginkan.
c.
Problem solving
(pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan dari kedua belah
pihak.
d.
With drawing
(menarik diri),
yaitu memilih meninggalkan situasi sengketa, baik secara fisik maupun
psikologis.
e.
In action
(diam), yaitu tidak
melakukan apa-apa.
14.2.2 Menurut Nader dan Todd Jr (1978:9)
1.
Lumpingit (membiarkan saja), oleh pihak yang
merasakan perlakuan tidak adil, gagal dalam mengupayakan tuntutannya. Dia
mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalahnya atau isu-isu yang
menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya dengan pihak
yang dirasakan merugikannya.
2.
Avoidance (mengelak), yaitu pihak yang
merasa dirugikan, memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang
merugikannya atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut, misalkan
dalam hubungan bisnis hal serupa bisa saja terjadi. Dengan mengelak, maka
masalah yang menimbulkan keluhan dielakkan saja.
3.
Coercion (paksaan), pihak yang satu
memaksakan pemecahan kepada pihak lain, ini bersifat unilateral. Tindakan yang
bersifat memaksakan atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya
mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai.
4.
Negotiation (perundingan), kedua belah pihak
yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan masalah yang
dihadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat tanpa adanya pihak yang
ketiga yang mencampurinya. Kedua belah pihak berupaya untuk saling menyakinkan,
jadi mereka membuat aturan mereka sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik
tolak dari aturan-aturan yang ada.
5.
Mediation (mediasi), pihak ketiga yang
membantu kedua belah pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan
kesepakatan. Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang
bersengketa, atau ditunjukkan oleh pihak yang berwenang untuk itu.
6.
Arbitration (Arbitrase), yaitu dua belah
pihak yang bersengketa sepakat untuk meminta perantara kepada pihak ketiga,
arbitrator dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan
dari arbitrator tersebut.
7.
Adjudication (peradilan), yaitu pihak ketiga
yang mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari
keinginan para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat
keputusan dan menegakkan keputusan itu artinya pihak ketiga berupaya bahwa
keputusan itu dilaksanakan.
14.3. NEGOSIASI
Negosiasi adalah suatu bentuk
interaksi sosial antara beberapa pihak yang bertujuan untuk mencapai
kesepakatan bersama yang dianggap menguntungkan pihak-pihak yang bernegosiasi.
Orang yang melakukan kegiatan negosiasi disebut dengan negosiator.
14.3.1
Tujuan Negosiasi
1.
Untuk mencapai suatu kesepakatan yang dianggap menguntungkan
semua pihak.
2.
Untuk menyelesaikan suatu masalah dan menemukan solusi dari
masalah yang tengah dihadapi pihak-pihak yang bernegosiasi.
3.
Untuk mencapai suatu kondisi yang saling menguntungkan bagi
pihak-pihak yang bernegosiasi dimana semuanya mendapatkan manfaat (win-win
solution).
14.3.2 Manfaat Negosiasi
1.
Terciptanya suatu jalinan kerjasama antara satu pihak dengan
pihak lainnya untuk mencapai tujuan masing-masing.
2.
Adanya saling pengertian antara masing-masing pihak yang
bernegosiasi mengenai kesepakatan yang akan diambil dan dampaknya bagi semua
pihak.
3.
Negosiasi bermanfaat bagi terciptanya suatu kesepakatan bersama
yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang bernegosiasi.
4.
Terciptanya suatu interaksi yang positif antara pihak-pihak yang
bernegosiasi sehingga jalinan kerjasama akan menghasilkan dampak yang lebih
luas bagi banyak orang.
14.4. Mediasi
Secara
umum, mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Ada 2 jenis
mediasi, yaitu
di
dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi di luar pengadilan ditangani
oleh mediator
swasta,
perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa
yang
dikenal
sebagai Pusat Mediasi Nasional (PMN). Mediasi yang berada di dalam pengadilan
diatur
oleh
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 yang mewajibkan ditempuhnya
proses
mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari
hakim
hakim
Pengadilan Negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya. Penggunaan mediator
hakim
dan
penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak
dikenakan biaya.
Proses
mediasi pada dasarnya tidak terbuka untuk umum, kecuali para pihak menghendaki
lain.
14.5. Arbitrase
Arbitrase
adalah salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan sengketa perdata antara
dua atau
lebih
pihak yang berselisih dimana pelaksanaannya dilakukan di luar peradilan umum.
Penyelesaian
sengketa ini dilakukan melalui perjanjian arbitrase tanpa ada kaitannya dengan
peradilan.
Jadi, secara gampangnya pengertian arbitrase adalah upaya untuk menyelesaikan
sengketa
perdata
di luar pengadilan dalam bentuk perjanjian tertulis antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Perjanjian
arbitrase ini harus ditandatangani oleh semua pihak yang bersengketa atau
disahkan oleh
notaris.
Setelah adanya perjanjian tersebut, maka pihak pengadilan negeri tidak memiliki
kewenangan
apapun terhadap perkara tersebut. Bahkan, mereka tidak boleh menerima pengajuan
perkara
tersebut di pengadilan.
14.6. perbandingan
antara perundingan, arbitrase, dan litigasi
A. Negosiasi atau Perundingan
Negosiasi adalah cara
penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan
kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut
diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut
secara baik.
B. Arbitrase
Arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa
dikatakan sebagai "litigasi swasta" dimana yang memeriksa perkara
tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter.
A.
Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1) Arbitrase
relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang
bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang
tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun.
2)
Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan
akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk
menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal
ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang
disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3) Kepastian
Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para
pihak.
B.
Kelemahannya antara lain :
1) Biaya yang relatif mahal karena honorarium
arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah).
2)
Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke
Pengadilan Negeri.
3)
Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial
(perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).
C. Litigasi
Litigasi
adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang
terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh
hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang
memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana
salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak
yang kalah.
A.
Kebaikan dari sistem ini adalah :
1)
Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di
Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua
jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini).
2)
Biaya yang relatif lebih murah (salah satu azas peradilan Indonesia adalah
sederhana, cepat dan murah).
B.
Kelemahan dari sistem ini adalah:
1)
Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia
yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan
Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut
dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke
Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan
hukum tetap).
2)
Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua
jenis hukum, namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak
dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi.
DAFTAR
PUSTAKA