Naruto Uzumaki Shoulder Pump

Kamis, 27 Juni 2019

TEORI PERLINDUNGAN KONSUMEN, ANTI MONOPOLI, DAN SENGKETA


PERTEMUAN IV
Nama                                       : Nadia Damayanti
NPM                                       : 26217653
Kelas                                       : 2EB17
Mata Kuliah                            : Aspek Hukum dalam Ekonomi #
Dosen                                      Desti Dirnaeni

Materi 11
11.1     Pengertian Konsumen
            Pengertian Konsumen merupakan semua pihak yang menggunakan barang atau jasa yang ada di masyarakat, baik untuk kepentingan pribadi, orang lain, dan mahluk hidup lainnya dan tidak untuk dijual kembali. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 tentang Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia di masyarakat, baik bagi kebutuhan diri sendiri, keluarga, orang lain, atau mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

11.2     Azas dan Tujuan
11.2.1 Azas
a.       Asas Manfaat
Asas manfaat adalah segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b.      Asas Keadilan
Asas keadilan adalah memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c.       Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
d.      Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas keamanan dan keselamatan konsumen adalah untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselematan pada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e.       Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum adalah baik pelaku maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.

11.2.2 Tujuan
Menurut Pasal 3 tentang Perlindungan konsumen, bertujuan:
a.  Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk  melindungi diri.
b.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari  ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c.   Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan  menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian  hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e.  Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
f.     Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

11.3     Hak Dan Kewajiaban Konsumen
11.3.1 Hak Konsumen
Pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4, berikut ini adalah hak-hak konsumen:
a.       Konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam penggunaan barang maupun jasa.
b.      Konsumen berhak untuk memilih barang/ jasa serta mendapatkan barang/ jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c.       Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang kondisi dan jaminan barang/ jasa yang dibeli.
d.      Konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya terkait barang/ jasa yang dipakai.
e.       Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f.       Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g.      Konsumen berhak untuk mendapatkan perlakukan dan pelayanan yang benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h.      Konsumen berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/ atau penggantian, jika barang/ jasa yang diterima tidak sesuai dengan semestinya.
i.        Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

11.3.2 Kewajiban Konsumen
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 5, berikut ini adalah kewajiban konsumen:
a.       Konsumen wajib membaca dan mengikuti petunjuk informasi maupun prosedur penggunaan atau pemanfaatan barang/ jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b.      Konsumen harus memiliki itikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/ jasa.
c.       Konsumen wajib membayar pembelian barang/ jasa sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d.      Konsumen wajib mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

11.4     Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha
11.4.1 Hak Pelaku Usaha
a.       hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
b.      Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
c.       Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukun sengketa konsumen.
d.      Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
e.       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

11.4.2 Kewajiban Pelaku Usaha
a. Bertikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b.Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaika, dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan, pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
d.            Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan garansi.
f. Memberi kompensasi , ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan manfaat barang atau jasa yang diperdagangkan.
g.Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian apabila berang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

11.5  Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
1.      Larangan dalam memproduksi / memperdagangkan. Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa, misalnya :
§  tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
§  tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto
§  tidak sesuai dengan ukuran , takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
§  tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau keterangan barang atau jasa tersebut
§  tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label
§  tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal
§  tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto
2.      Larangan dalam menawarkan / memproduksi . Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah .
§  Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu.
§  Barang tersebut dalam keadaan baik/baru
§  Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu.
§  Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi.
§  Barang atau jasa tersebut tersedia.
§  Tidak mengandung cacat tersembunyi.
§  Kelengkapan dari barang tertentu.
§  Berasal dari daerah tertentu.
§  Secara langsun g atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.
§  Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya , atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
§  Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
3.      Larangan dalam penjualan secara obral / lelang. Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang , dilarang mengelabui / menyesatkan konsumen, antara lain :
§  menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu.
§  Tidak mengandung cacat tersembunyi.\
§  Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain.
§  Tidak menyedian barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
4.      Larangan dalam periklanan. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan , misalnya :
§  mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga mengenai atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang jasa.
§  Mengelabui jaminan / garansi terhadap barang atau jasa.
§  Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jas
§  Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa
§  Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
§  Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

11.6  KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN
a.       menyatakan pengalihan tanggungn jawab pelaku usaha .
b.      menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
c.       pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang di beli konsumen.
d.      pemberian klausa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran.
e.       mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli oleh konsumen.
f.       memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara terlihat atau tidak dapat dibaca seacra jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah dinaytakan batal demi hukum. Oleh karena itu , pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.

11.7 Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.

            Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen. Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19. Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
a.       barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
b.      cacat barabg timbul pada kemudian hari
c.       cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang
d.      kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
e.       lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

11.8 SANKSI
Sanksi yang diberikan oleh undang – undang nomor 8 tahun 1999, yang tertulis dalam pasal 60 sampai dengan pasal 63 dapat berupa sanksi administrative, dan sanksi pidana pokok, serta tambahan berupa perampas barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentiaan kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabuatn izin usaha.

Materi 12
12.1 Pengertian Anti Monopoli
            “Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
            Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.


            Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli. Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli. Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan Usaha.

12.2 Asas Dan Tujuan Anti Monopoli
12.2.1 Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
12.2.2 Tujuan
            Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen. Kegiatan yang dilarang dalan antimonopoly. Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
12.3            Kegiatan Yang Dilarang
            Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
(3) Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

12.4 Perjanjian Yang Dilarang
            Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha. Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut. Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy.Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli.

Materi 13
13.1     Hal Hal Yang Dikecualikan Dalam Monopoli
            Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri

13.2     Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (Kppu)
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1.      Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sepertI.
2.      perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
3.      Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
4.      Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
a.       Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
b.      Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
c.       Efisiensi alokasi sumber daya alam
d.      Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
e.       Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
f.       Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
g.      Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
h.      Menciptakan inovasi dalam perusahaan.

13.3     SANKSI
Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan UsahaPasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli.
Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok.Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49. Pasal 48(terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan. (3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan. Pasal 49.

MATERI 14
14.1.    Pengertian Sengketa
Sengketa atau dalam bahasa inggris disebut dispute adalah pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.

14.2.    Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
14.2.1 Menurut Pruitt dan Rubin (2004:4)
a.       Contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak yang lainnya. 
b.      Yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kekurangan dari yang sebetulnya diinginkan. 
c.       Problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan dari kedua belah pihak. 
d.      With drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi sengketa, baik secara fisik maupun psikologis.
e.       In action (diam), yaitu tidak melakukan apa-apa.

14.2.2 Menurut Nader dan Todd Jr (1978:9)
1.      Lumpingit (membiarkan saja), oleh pihak yang merasakan perlakuan tidak adil, gagal dalam mengupayakan tuntutannya. Dia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalahnya atau isu-isu yang menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya dengan pihak yang dirasakan merugikannya. 
2.      Avoidance (mengelak), yaitu pihak yang merasa dirugikan, memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut, misalkan dalam hubungan bisnis hal serupa bisa saja terjadi. Dengan mengelak, maka masalah yang menimbulkan keluhan dielakkan saja. 
3.      Coercion (paksaan), pihak yang satu memaksakan pemecahan kepada pihak lain, ini bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai. 
4.      Negotiation (perundingan), kedua belah pihak yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan masalah yang dihadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat tanpa adanya pihak yang ketiga yang mencampurinya. Kedua belah pihak berupaya untuk saling menyakinkan, jadi mereka membuat aturan mereka sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada. 
5.      Mediation (mediasi), pihak ketiga yang membantu kedua belah pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan. Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, atau ditunjukkan oleh pihak yang berwenang untuk itu. 
6.      Arbitration (Arbitrase), yaitu dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk meminta perantara kepada pihak ketiga, arbitrator dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator tersebut. 
7.      Adjudication (peradilan), yaitu pihak ketiga yang mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu artinya pihak ketiga berupaya bahwa keputusan itu dilaksanakan.

14.3.          NEGOSIASI
Negosiasi adalah suatu bentuk interaksi sosial antara beberapa pihak yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan bersama yang dianggap menguntungkan pihak-pihak yang bernegosiasi. Orang yang melakukan kegiatan negosiasi disebut dengan negosiator.
14.3.1 Tujuan Negosiasi
1.      Untuk mencapai suatu kesepakatan yang dianggap menguntungkan semua pihak.
2.      Untuk menyelesaikan suatu masalah dan menemukan solusi dari masalah yang tengah dihadapi pihak-pihak yang bernegosiasi.
3.      Untuk mencapai suatu kondisi yang saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang bernegosiasi dimana semuanya mendapatkan manfaat (win-win solution).
14.3.2 Manfaat Negosiasi
1.      Terciptanya suatu jalinan kerjasama antara satu pihak dengan pihak lainnya untuk mencapai tujuan masing-masing.
2.      Adanya saling pengertian antara masing-masing pihak yang bernegosiasi mengenai kesepakatan yang akan diambil dan dampaknya bagi semua pihak.
3.      Negosiasi bermanfaat bagi terciptanya suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang bernegosiasi.
4.      Terciptanya suatu interaksi yang positif antara pihak-pihak yang bernegosiasi sehingga jalinan kerjasama akan menghasilkan dampak yang lebih luas bagi banyak orang.

14.4.          Mediasi
Secara umum, mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Ada 2 jenis mediasi, yaitu
di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator
swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa yang
dikenal sebagai Pusat Mediasi Nasional (PMN). Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur
oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 yang mewajibkan ditempuhnya
proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim
hakim Pengadilan Negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya. Penggunaan mediator hakim
dan penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya.
Proses mediasi pada dasarnya tidak terbuka untuk umum, kecuali para pihak menghendaki lain.

14.5. Arbitrase
Arbitrase adalah salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan sengketa perdata antara dua atau
lebih pihak yang berselisih dimana pelaksanaannya dilakukan di luar peradilan umum.
Penyelesaian sengketa ini dilakukan melalui perjanjian arbitrase tanpa ada kaitannya dengan
peradilan. Jadi, secara gampangnya pengertian arbitrase adalah upaya untuk menyelesaikan sengketa
perdata di luar pengadilan dalam bentuk perjanjian tertulis antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Perjanjian arbitrase ini harus ditandatangani oleh semua pihak yang bersengketa atau disahkan oleh
notaris. Setelah adanya perjanjian tersebut, maka pihak pengadilan negeri tidak memiliki
kewenangan apapun terhadap perkara tersebut. Bahkan, mereka tidak boleh menerima pengajuan
perkara tersebut di pengadilan.

14.6. perbandingan antara perundingan, arbitrase, dan litigasi
A. Negosiasi atau Perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
B.     Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter.
A.    Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1)  Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun.
2)  Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3)  Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.
B.     Kelemahannya antara lain :
1)  Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah).
2) Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3) Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).
C.    Litigasi
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
A.    Kebaikan dari sistem ini adalah :
1) Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini).
2) Biaya yang relatif lebih murah (salah satu azas peradilan Indonesia adalah sederhana, cepat dan murah).
B.     Kelemahan dari sistem ini adalah:
1) Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap).
2) Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum, namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi.
DAFTAR PUSTAKA

1 komentar:

  1. ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
    hanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
    ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
    untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
    terimakasih ya waktunya ^.^

    BalasHapus